Disebuah
pojok dalam kawasan Benteng Keraton Buton di Kota Bau-Bau, Sulawesi
Tenggara, tepatnya disekitar ‘Baluarana Siompu’ terdapat sebuah makam
tua yang dijaga keberadaannya oleh pemerintah dan masyarakat setempat.
Makam itu bernama, Makam Karaeng Tunipassulu, Raja Gowa ke XIII.
Mungkin, bagi masyarakat Sulawesi Selatan, khususnya etnik
Bugis-Makassar (Sulawesi Selatan), tak banyak yang tahu kalau Raja ke
XIII itu tempatnya ada di Kota Bau-Bau, Sulawesi Tenggara.
Tidak
seperti makam-makam raja Gowa-Tallo di Makassar yang terkesan
terbangun megah dan menunjukkan kewibaannya sebagai seorang Raja, Makam
Karaeng Tunipassulu di Bau-Bau ini awalnya hanya berhias batu tua
sebagai nisan, lalu terhampar begitu saja bersamaan dengan
kuburan-kuburan tua lainnya di dalam benteng.
Untung
saja, di tahun 2005 oleh Pemerintah Kota Bau-Bau, makam raja yang
konon dikeluarkan dari negerinya (sesuai namanya, Tunipassulu = orang
yang dikeluarkan) mendapatkan perhatian khusus. Makamnya mulai dipagari
dengan bebatuan khas benteng, sebagaimana makam-makam para Raja dan
Sultan Buton yang ada di Kota Bau-Bau. Inilah yang kemudian
‘mempopulerkan’ keberadaan Karaeng Tunipassulu di negeri Khalifatul
Khamis ini.
Tidak
diperoleh informasi yang cukup tentang sepak terjang Karaeng
Tunipassulu di Pulau Buton. Yang pasti data raja-raja Gowa menunjukkan
jika Karaeng Tunipasulu ini bernama lengkap I Tepukaraeng Daeng
Parabbung Tuni Pasulu, yang memerintah di tahun 1590 sampai tahun1593,
dan benar memang Raja Gowa yang ke-13.
Menurut
Farid W. Makkulau (penulis buku Kekaraengan di Pangkep) mengomentari
seputar Raja ini memangatakan jika benar I Tepu Karaeng Daeng
Para’bung Tunipasulu dimakamkan di Buton. (Matinroe ri Buton). Raja
ini naik takhta kerajaan Gowa dalam usia 15 tahun, putera dari I
Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Tunijallo. Karena dianggap sering
bertindak sewenang-wenang, baik kepada rakyatnya maupun terhadap bate
salapanga, Raja ini akhirnya diusir dari istana Gowa. Karaeng
Tunipasulu’ artinya Raja yang terusir atau dikeluarkan.
"Di
masa pemerintahannya yang singkat, hanya tiga tahun (1590-1593),Raja
Gowa ke XIII ini memecat beberapa pembesar kerajaan, termasuk
Tumailalang I daeng ri Tamacinna, membagi-bagi hamba raja dan
menetapkan bate salapanga menjadi ’sipuwe lompo’, melarang rakyat
berbakti kepada kedua saudaranya, membunuh orang tanpa salah.
Tindakannya ini bukan hanya membuat tidak senang dalam istana Gowa
tetapi juga membuat para pendatang dan pedagang resah. Oleh Bate
Salapanga, Raja ini diasingkan ke Luwu dan disanalah ia menyadari
kesalahannya dan masuk Islam dan kemudian ke tanah Buton. Setelah sekian
lama tinggal di Buton, akhirnya Karaeng Tunipasulu pindah ke Buton
dan wafat disana dalam tahun 1617.
Meski
begitu beberapa informasi yang diperoleh dari Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan Kota Bau-Bau, jika keberadaan makam tua ini secara turun
temurun telah ada sejak lama dan dipercaya sebagai makam Karaeng
Tunipassulu, Raja Gowa ke XIII itu. "Tugas kami bagaimana menjaga dan
melestarikan keberadaan situs-situs tua dan bersejarah, kami
memperlakukannya keberadaan makam Karaeng ini seperti memperlakukan
keberadaan situs Gua Aru Pallakka yang juga berada dalam Benteng
Keraton,” ujar Ali Arham, seorang PNS Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Kota Bau-Bau.
Tak dikenal secara meluas Tidak
seperti raja-raja Gowa lainnya yang dikenal di seantero nusantara,
nama Karaeng Tunipassulu tidak popular. Bahkan di sejumlah data
internet tentang sejarah raja-Raja Gowa, hanya menuliskan nama karaeng
Tunipasulu sebagai Raja Gowa-13, tidak lebih dari itu. Mungkin inilah
yang membuat jika nama besarnya di Buton juga semakin meredup.
Lebih
parah lagi, orang-orang Bugis-Makassar yang berada di Pulau Buton,
nyaris tak mengenal siapa sosok Raja Gowa ini. Biasanya, tradisi nyekar
yang banyak terlihat di Sulsel terhadap makam-makam yang
dikeramatkan, tidak berlaku bagi sosok Raja Gowa ke-13 ini.
Makamnya seolah dibiarkan ‘sendiri’ dan tak punya kerabat. Tak pernah
terlihat ada orang-orang Bugis-Makassar yang menyambanginya. Apalagi
menziarahi, seperti layaknya raja-raja lainnya di Sulsel. Apakah ini
hukuman bagi Sang Karaeng?? Wallahu alam bissawab. Namun selayaknya,
sebagai mantan Raja, telepas dari dosa-dosanya, mungkin kewajiban kita
menghargainya, setidaknya ia telah memberi pelajaran berharga bagi kita
generasi belakangan ini. Dan, kita semua yakin, jika Karaeng
Tunipassulu punya anak keturunan hingga saat ini.
sumber : kompasiana
|