Intrik Sosial Politik Di Balik Kisah ‘’Persekutuan Abadi”
A. Sepatah kata
Awalnya
kerajaan Buton bukanlah Kerajaan yang kaya, namun wilayahnya yang
strategis sebagai jalur perdagangan menjadi incaran oleh
kerajaan-kerajaan tentangganya seperti Ternate dan Gowa termasuk VOC,
dan juga Inggris pada akhir abad ke-18. Perebutan pengaruh kekuasaan
menjadikan Buton harus memilih "Sahabat” yang mampu melindungi
kedaulatan Kerajaan Buton, dan hasilnya pada tanggal 17 desember 1613
tercetus perjanjian "Persekutuan Abadi” dengan VOC, yang menghasilkan
berbagai intrik, sosial politik, sepanjang sejarah Kesultanan baik dari
dalam maupun luar pemerintahan Kesultanan Buton. Berakhirnya dominasi
Belanda di nusantara 1824 (perjanjian London 1824) menjadikan Kesultanan
Buton mengalami kemajuan dan justru banyak memberikan bantuan kepada
Belanda antara lain ikut mengadakan persetujuan sepihak dengan Belanda
(1824), mendamaikan Kerajaan Bone dengan Belanda melalui perjanjian
Bongaya (1824) dan ikut serta dalam perang Diponegoro (1825-1830) (mu'jizah 2007).
Perubahan yang menonjol terjadi ketika Buton menjadi ibukota Afdeeling
Sulawesi Timur pada tahun 1911 dan pada tahun 1915, Afdeling Buton dan
Laiwui (Kendari) digabungkan dengan Bungku dan Mori yang dipusatkan di
Buton. Selanjutnya Buton menjadi Kota pusat urbanisasi dan
perdagangan terbesar di bagian timur. Tahun 1960 Buton menjadi bagian
Indonesia, yang menandakan berakhinya pula Kesultanan Buton, juga sempat
menjadi Ibu Kota Sulawesi Tenggara sampai tahun 1964. (Rabani La Ode;2004).
B. Perang Buton
1. Perang Buton dengan Armada kapal La Bolontio (akhir abad ke -15!)
Perang
besar pertama yang tercatat dalam sejarah Kerajaan Buton yaitu perang
melawan Armada kapal La Bolontio yang menguasai perairan banda pada
akhir abad ke-15!. Tidak banyak literature yang menjelaskan asal dari
La bolontio. Beberapa Sumber menyebut bahwa Labolontio adalah seorang
Bajak Laut yang menguasai kepulauan Moro di Filipina, perairan banda
sampai selayar. Namun dalam manuskrip Buton, tercatat bahwa labolontio
adalah seorang kapten laut dari kepulauan Tobelo Kesultanan Ternate. La
bolontio memimpin pasukan laut dibawah perintah Sultan Ternate ke-4
Sultan Baabullah Datu Sah (1570-1584), untuk memperluas wilayah
kekuasaannya juga dalam rangka menyebarkan pengaruh Islam di kawasan
timur Nusantara termasuk Buton, Bima, Selayar dan Makassar yang pada
saat itu kebanyakan Kerajaan masih beragamakan Hindu. Penyerangan Armada
Labolontio ke Buton terjadi pada saat kerajaan Buton masih dipimpin
raja ke-5 Rajamulae ( sampai dengan 1491). Disini terlihat ada perbedaan
interval waktu yang sangat jauh antara masa Rajamulae dengan Sultan
Baabulah yang terpaut hampir 90 tahun. Namun jika di konversi ketahun
Rajamulae maka diperoleh kemungkinan kesamaan waktu antara Raja Buton
dengan Sultan Ternate pada masa Pemerintahaan Sultan pertama Ternate
Zainal Abidin (1486-1500). Kehebatan
Armada Laut Labolontio sangat disegani dan merupakan ancaman yang
menakutkan bagi kerajaan-kerajaan lain pada saat itu. Dalam rangka
mempertahankan kerajaannya, Raja Mulae meminta kerajaan-kerajaan Baratha
[daerah penunjang pertahanan kesultanan Buton yang memiliki raja
sendiri (Wuna ( Muna ), Kulisusu, Tiworo dan Kaledupa)] untuk
mempertahankan kerajaan Buton. Adalah La kilaponto [anak dari
Sugimanuru (Raja wuna ke-3) dan cucu dari Bataraguru (Raja Buton ke-3)
yang kebetulan juga adalah kemenakan dari Raja mulae] yang pada saat itu
menjadi raja Wuna VII memimpin penyerangan terhadap Armada Labolontio
bersama Raja Selayar Opu Manjawari didukung rakyat Muna dan Kulisusu.
Peperangan Armada laut Buton–Selayar dengan Pasukan Armada Labolontio
dimenangkan oleh pasukan Lakilaponto bersama Opu Manjawari di daerah
yang sekarang lebih di kenal dengan nama Labuantobelo (Labuan =
Pelabuhan/persinggahan ; Tobelo = Daerah/pulau Tobelo). Berkat Jasa
keduanya, maka Kerajaan Buton mengankat Lakilaponto menjadi Raja ke-6
Buton (1491-1527) yang selanjutnya menjadi Sultan ke-1 Buton dengan
gelar Sultan Kaimuddin khalifatul khamisi (1528 – 1537) [tahun kesultanan ini saya pakai merujuk pada penelitian La Niampe tentang sejarah masukanya islam ke tanah Buton] dan Opu manjawari mejadi Sapati di Kerajaan Buton. Pengangkatan
Lakilaponto menjadi Raja Ke-6 Buton dan Opu Manjawari dari selayar
menjadi Sapati di Buton dapat menjelaskan bagaimana Kedudukan Kerajaan
Buton terhadap kerajaan disekililingnya. Begitupun kerajaan Selayar
Namun ada yang khusus bagi Raja Selayar Opu Manjawari. Apakah Raja
Selayar mempunyai hubungan darah dengan raja Buton, ataukah Selayar
merupakan bagian dari kerajaan Buton atau Sahabat Kerajaan buton, atau
sahabat raja Muna? Atau apa yang sebenarnya telah terjadi di Selayar?
Namun ini agak sangat sulit dijelaskan dan perlu pengkajian sebab
keberhasilan seorang Raja Selayar mengalahkan Pasukan Labolontio
menjadikan dirinya Pati kerajaan Buton, walaupun pada akhirnya cucu dari
Sapati Manjawari hasil perkawinan dari anak perempuanya dengan
Lakilaponto bernama La Sangaji menjadi Sultan Ke-3 Buton (1566-1570).
La Sangaji merupakan Sultan yang merintis pembangunan Benteng Keraton
Wolio yang merupakan benteng pertahanan terkuat di zamannya serta
menjadi saksi perang kesultanan Buton yang masih kokoh hingga sekarang.
2. Perang Buton – Belanda . (1637 – 1638)
Hubungan
diplomatic yang di sepakati antara VOC dengan kesultanan buton sejak
Kesultanan ke- 4. Sultan La Elangi (Dayanu Iksanuddin ; 1578-1615 M)
dengan di ikrarkannya "Persekutuan Abadi” oleh Apollonius Scotte
dibawah Gubernur Jendral Pieter Both tahun 1613 lambat laun semakin
retak, ini disebabkan karena kebanyakan dari anggota garnisium Belanda
selalu menipu dan berbuat sesuatu yang arogan terhadap rakyat Buton.
Keadaan ini memicu ketidakpercayaan didalam petinggi Kesultanan untuk
melanjutkan perjanjian tersebut, hingga terjadi penyerangan kapal Velzen
milik VOC yang didukung Sapati Kesultanan yang menentang perjanjian.
Penyerangan kapal dagang VOC yang terdampar di salah satu wilayah kadie
(wilayah kecil kesultanan dibawah perintah kesultanan Buton) di pulau
Wawoni menimbulakan kesalahpahaman dan perpecahan yang berakhir dengan
peperangan. catatan
Schoorl sangat jelas menggambarkan hubungan Kesultanan Buton dan VOC
yang pasang surut dan berakhir dengan perang yang sangat dasyat. Sultan
ke-5 Sultan La Balawo (1617-1632) merasakan ancaman invasi dari
kerajaan Makassar yang telah menaklukan Selayar, sehingga Sultan
berinisiatif untuk meminta bantuan kepada Belanda yang berada di Batavia
jikalau nantinya kerajaan Gowa menyerang Buton, mengingat Makassar
adalah salah satu kerajaan yang kuat pada masa itu, namun surat tersebut
ternyata tidak dihiraukan. Keadaan ini membuat konflik internal dalam
Kesultanan Buton, akibat hilangnya kepercayaan petinggi Kesultanan
Buton (Sapati) terhadap Belanda namun sebagian lagi golongan masih
mengharapkan bantuan dari Kerajaan Belanda sebagaimana keyakinan mereka
terhadap perjanjian persekutuan abadi yang telah di ikrarkan oleh
Sultan terdahulu. Schloor juga menjelaskan bagaimana Penyerangan di
bawah pimpinan Sapati yang mendukung penyerangan menghancurkan kapal –
kapal VOC yang terkandas di pulau Wawonii dan melakukan pembantaian
awak sebuah Fluyt VOC, Velzen, serta pembunuhan, penawanan dan
penyiksaan terhadap kakitangan sebuah kapal dagang peribadi Belanda
yang singgah di Bau-Bau. Meskipun Sultan menempatkan isteri nakhoda
kapal partikulir Belanda yang ikut ditahan, Elsje Janszoon, itu
di rumah isterinya sendiri dengan diberi layanan dengan baik, di mana
ia "menginap sebagai tamu dan selalu diperlakukan dengan baik ‘’ Namun
tidak menyurutkan keinginan Belanda untuk membumi hanguskan Kesultanan
Buton, untuk memberi pelajaran atas kekejian yang (menurut mereka)
dilakukan atas perintah Sultan Buton. Penyerangan
pertama Belanda dilakukan pada akhir tahun 1637 di lanjutkan
penyerangan kedua tahun 1638 dengan jumlah armada dan persenjataan yang
lebih besar. Serangan armada VOC terjadi pada masa pemerintahan Sultan
Buton ke-6 Sultan La Buke (1632-1645). Pertempuran tersebut sangat
dasyat dan menimbulkan banyak korban dari kedua belah pihak. Meskipun
banyaknya korban yang berjatuhan dari pihak Buton, sampai pertempuran
berakhir, armada Belanda tidak berhasil menjatuhkan dan merebut benteng
keraton Wolio dimana merupakan pusat Kasultanan Buton.
3. Perang Buton - Makassar di Teluk Buton (1666-1667)
Perang
Buton dengan kerajaan Makassar adalah konskuensi atas tindakan
Kesultanan Buton yang memberi suaka politik pada Aru palaka yang
melarikan diri bersama beberapa pengikutnya atas kejaran kerajaan
Makassar di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin (1631 – 1670). Sebagaimana
yang diterangkan dalam kajian horst h. Liebn 2007 Mac
Leod dapat menerangkan alasan Speelman membantu Kesultanan Buton pada
saat di serang pasukan Makassar awal tahun 1667, yaitu dikarenakan
Speelman merasa berhutang atas bantuan Sultan yang telah menyelamatkan
600 armada VOC beserta muatan dan alat persenjataannya termasuk yang
telah di ambil oleh nelayan setempat (sagori), ketika 4 dari 5 Armada
VOC yang menuju Ternate karam di kepulauan Sagori tahun 1650, meskipun
saat itu hubungan VOC dengan Buton masih renggang.
Dipimpin
Karaeng Bonto Marannu, Armada Kerajaan Gowa didukung kesultanan Bima
dan Luwu dengan 700 Armada kapal dan 20.000 prajurit menyerang
Kesultanan Buton pada akhir tahun 1666, yang pada saat itu kesultanan
Buton berada dibawah pemerintahan Sultan ke-10 La Simbata (Sultan Adilil
Rakhiya; 1664-1669 M), Pertempuran hebat diteluk Bau-bau oleh
kesultanan Buton di bantu dengan Belanda dibawah pimpinan Cornelis
Speelman dan prajurit Bone bertempur melawan Armada kerajaan Gowa.
Pertempuran tersebut mengakibatkan kekalahan besar bagi kerajaan Gowa.
Dan ribuan prajurit termasuk Karaeng Bonto Marannu di tawan dan di
asingkan di Liwuto Makasu (baca; pulau Makasar). Dalam catatan Belanda,
Pulau Makkasar dinaman juga "Makassarsch Kerkhof” atau Kuburan
Makassar. Adalah mantan Sultan Ke-9 Buton yang kemudian membebaskan dan
memulangkan mereka, sedangkan Daeng Mandangi dan Daeng Mandongi, Serta
Karaeng Gasalah kawin dengan penduduk setempat. Tentang
Aru Palakka (baca; Arung Palakka ) dalam sejarah Bone menceritakan,
Meskipun Aru Palakka tumbuh besar dalam didikan kerajaan Makassar, namun
Aru Palakka adalah bangsawan yang tidak suka pada pemerintahan
Hasanuddin yang menjadikan rakyatnya sebagai perkerja (budak).
Kesewenang-wenagan pemerintahan Gowa memberlakukan rakyat Bone memicu
rasa siri (harga diri) bagi Aru Palakka. ketidaksenangan Aru
Palaka ini di wujudkan dengan pemberontakan terhadap kerajaan Makassar.
Namun Aru palaka tidak dapat melawan gempuran kerajaan Makassar
sehingga memaksa Aru Palakka bersama Tobala mencari perlindungan
meninggalkan Bone dan pergi ke Buton dengan beberapa ratus pengikutnya.
Ada
kisah yang menarik sehubungan dengan pelarian Bangsawan Bone Aru
Palakka ke Negeri Buton. Pada saat pengejaran kerajaan Makassar sampai
ke Buton. Utusan Makassar Karaeng ri Gowa menanyakan keberadaan Aru
Palaka kepada Sultan Ke-9 La Awu (Sultan Malik Sirullah ;1654-1664 M)
namun pertanyaan itu dijawab dengan sumpah yang menyatakan bahwa "Aru
palakka tidak ada di atas tanah Buton ini, Jika ucapanku salah, maka
air akan menenggelamkan negeri Buton”. Sumpah ini diterima dan dianggap
sah yang tentu saja mengecewakan prajurit kerajaan Makassar yang
pulang tanpa hasil. Namun sesungguhnya pada saat Sultan Buton
mengangkat sumpah, Aru Palakka memang berada di Buton, tetapi
bersembunyi di dalam ceruk goa yang berada tepat di bawah benteng
Keraton Buton (Baca; Liana La Toondu). Belakangan keberadaan Aru
palaka diketahui Kerajaan Gowa yang ternyata berada di Buton sejak
tahun 1660. Kejadian ini membuat Sultan sakit hati dan marah karena
keberanian Buton melindungi Aru Palakka serta merasa tertipu oleh sumpah
Sultan Buton. Rasa marah Sultan membuat kerajaan Gowa mengirim armada
perangnya melakukan penyerangan secara besar-besaran ke Buton demi
menghancurkan Kesultanan Buton dan menangkap Aru Palakka hidup atau
mati. Peristiwa pelarian Aru palaka ke Kesultanan Buton dan upaya
penyelamatan dengan menggunakan sumpah, menjadi buah bibir dan selalu di
kenang bagi masyarakat Bone – Buton hingga sekarang.
4. Perang Makassar (1966 – 1969)
Kekalahan
besar pasukan Armada kerajaan Gowa di Buton melemahkan pertahanan
kerajaan Gowa di Makassar. Hal ini dimamfaatkan oleh kerajaan-kerajaan
yang sebelumnya berada di bawah tekanan Kerajaan Gowa, kembali balik
menyerang. VOC dibawah pasukan Speelman, Ternate dibawah Sultan
Mandarsyah (1645-1675), Buton dibawah Kapitalao Jitanggalawu dan Bone di
Bawah pasukan Aru palaka melakukan penyerangan besar-besaran ke
Makassar baik dari laut maupun darat pada tahun 1667. Makassar di bawah
pimpinan Sultan Hasanuddin dan Armada Karaeng Galesong mendapat pukulan
hebat dan kekalahan besar sehingga memaksa Sultan Hasannudin tunduk
dan menandatangani perjanjian Bongaya November 1667. Berjanjian
tersebut merupakan kemunduran besar bagi kerajaan Gowa karena harus
melepaskan dominasi kekuasaannya terhadap kerajaan-kerajaan lain dan
salah satunya pelepasan pemerintahan atas kerajaan Bone. Meskipun
perjanjian Bongaya sudah disepakati namun serangan sisa-sisa perlawanan
kerajaan Gowa yang menentang perjanjian tersebut masih terus terjadi
(1668). Nanti setelah tahun 1669 perlawanan selesai setelah benteng
Somba Opu telah rata dengan tanah.
Kutipan
Naskah teks surat kapitalao Buton Jitawanggalu yang berada bersama
Sultan Ternate Sultan Mandarsyah (1645-1675) Oktober tahun 1669 yang di
tulis di Makassar kepada Gubernur Jenderal VOC, Joan Maetsuycker di
Batavia. Naskah surat tersimpan di UB leiden Belanda dengan Kode K.Ak.98
….
"[S]ahabat Kapiten Laut [Buton] mem[b]eri maklum kepada Gurnadur
Jen[d]ral tatkala disuruh oleh Sahabat Raja Buton kami mengiringkan
Paduka Sri Sultan Ternate sama2 mengikut pada A[d]miral Cornelis
Speelman ke Tanah Mengkasar supaya kami mengerjakan kerja kita”….. … "Tertulis dalam Benteng Parinringa yang be[r]dekatan dengan kota Rotterdam dua lapan (;
kata sisipan, Suryadi) likur hari dari bulan Jumadil Awal pada tahun
Jim hijrat al-Nabi Salallahu alaihi wassalam seribu dua lapan puluh
genap”. (Suryadi; 2009)
Jelas
bahwa K.Ak.98 ditulis tak lama setelah Gowa dikalahkan oleh VOC di
bawah pimpinan Cornelis Speelman. Isi surat ini cukup menggambarkan
posisi politik Buton selepas Perjanjian Bongaya (1667) melalui mana VOC
berhasil menekan ambisi politik Kerajaan Gowa yang sering menginvasi
kerajaan-kerajaan tetangganya, termasuk Buton (Suryadi; 2009).
5. Perang Buton Belanda tahun 1752 dan 1755 - 1776
Perjanjan
Bongaya tahun 1667 di Makassar ternyata tidak memberi pengaruh yang
luas terhadap Kesultanan Buton, walaupun kenyataannya Kesultanan Buton
mepunyai andil yang sama dengan Ternate dalam upaya penaklukan Makassar
1666-1669. pemberian porsi kekuasaan yang besar terhadap kerajaan
ternate dan VOC/kompeni sendiri dirasa sebagai upaya pengurangan
kekuatan/ wilayah kekuasaan Buton dan sebagai usaha adu domba dengan
Kerajaan Ternate. Salah satu pasalnya yaitu dengan memberikan pengakuan
wilayah seluruh pantai timur Sulawesi dari Menado ke Pansiano (Wuna)
adalah dulunya merupakan milik raja Ternate (pasal 17). Disamping itu
perjanjian yang berkaitan dengan monopoli dagang Hindia-belanda dengan
dihapuskannya bea dan pajak impor maupun ekspor terhadap kompeni (pasal
8) yang diterapkan diseluruh persekutuan Belanda, dampaknya mulai
dirasakan Kesultanan Buton yang saat itu mengakibatkan hilangnya salah
satu pemasukan kerajaan sebagai daerah transit kapal-kapal yang menuju
ke timur (Ternate-Ambon-Papua) dan ke barat (Makassar-Jawa-Bali).Adalah
sultan Buton ke- 20 dan 23 La Karambau ( Sultan Himayatuddin ;
1751-1752 dan 1760-1763) yang mencoba melakukan perlawanan terhadap
arogansi dari Kompeni. La karambau tidak mengindahkan perjanjian 1667
yang dianggapnya sangat menguntungkan kompeni. Salah satunya aksinya
yaiu dengan melakukan penyerangan terhadap kapal Rustenwerk milik kompeni Belanda di bawah pimpinan Kapten Mazius Tetting.
Kejadian bermula pada saat Sultan mengirim beberapa orang menuju
kekapal Belanda yang sedang berlabu di perairan Buton untuk
menegosiasikan pembayaran. Namun kompeni tidak mau mau membayar ongkos
berlabu dan akhirnya terjadi pertengkaran dan saling menyerang. Utusan
Buton lalu membunuh dan menawan sebagian kelasinya dan menjarah isi kapal pada 28 juni
1752. Peristiwa tersebut membuat marah kompeni dan hubungan
Buton-Belanda menjadi renggang. Kemarahan kompeni ditampilkan dengan
meminta seribu orang budak sebagai ganti rugi. Bagi La Karambau hal ini
tidak dapat kabulkan dan justru menentang permintaan dari pihak Kompeni
tersebut. Akibat tindakan Sultan La Karambau, Kompeni Belanda mengirim
pasukannya pada akhir 1752 di bawah pimpinan Johan Benelius menyerang Buton. Demi
mempertahankan kedaulatan kesultanan Buton, La Karambau turun memimpin
perlawanan melawan Kompeni. Untuk mengisi kekosongan Pemerintahan maka
Kesultanan Buton mengankat Sultan ke-21 Hamim (Sultan Sakiyuddin;
1752-1759) yang juga ternyata menetang keberadaan Kompeni. Kompeni
tidak menyangka mendapat perlawanan hebat dari La Karambau yang juga di
dukung Sultan Hamin, membuat mereka harus mundur. Hasilnya kompeni
menambah armada perang kembali menyerang Buton pada februari 1755 di
bawah pimpinan Kapten Johan Casper Rijsweber
menggempur Keraton Buton. kembali kompeni mendapat perlawanan hebat
dari pasukan La Karambau, walaupun tidak sehebat seperti pada awal
perlawanan. Pasukan kompeni berhasil memukul mundur pasukan La karambau
sehingga memaksa pasukan La Karambau harus melakukan penyerangan secara
gerilya dihutan-hutan yang dipusatkan dibenteng siontapina. Tehnik
perang gerilya tersebut ternyata sangat berhasil dan mengusir pasukan
Kompeni dari tanah Buton. Keberhasilan La karambau dalam mengusir
pasukan Kompeni mejadikan dia dinobatkan kembali menjadi Sultan Buton
Ke-23 menggatikan Sultan ke-22 yang menjabat cuma setahun La Seha
(Sultan Rafiuddin; 1759-1760) dengan tambahan gelar Sultan Himayatuddin
Oputa yi koo dalam makna Sultan Himayatuddin (La Karambau) Raja di
hutan (1760-1763). Kembalinya
La Karambau menjadi Sultan Buton ke-23 mendapat banyak pertentangan
dari kalangan petinggi kesultanan termasuk juga mendapat tekanan dari
Kompeni. Hal ini bagi sebagian kalangan, pengangkatan kembali Sultan La
Karambau yang terlalu kritis terhadap kompeni dapat merusak perjanjian
”Persahabatan Abadi Buton-Belanda” yang telah di ucapkan oleh
Sultan-sultan terdahulu. Karena desakan itu maka terjadi pergantian
kepemimpinan dengan diangkatnya La Jampi (Sultan Kaimuddin;1763-1788)
sebagai sultan Buton yang ke-24. Dan oleh Belanda, La Karambau menjadi
orang yang paling dicari untuk di bunuh sebagai pertanggungjawaban atas
tindakannya melawan serta membunuh banyak Kompeni. Meskipun telah turun
tahta La Karambau memiliki
banyak pengikut setia dan terus melakukan perlawanan terhadap Kompeni.
Perlawanan yang dipimpin La Karambau tersebut kembali mengakibatkan
banyaknya korban yang berjatuhan. Satu pejabat tinggi bersama anak dan
cucu La Karambau di tawan dan dibawa ke Belanda. Penyanderaan anak dan
cucu ini tidak menyurutkan hatinya untuk memerangi Belanda, justru ia
melanjutkan perlawanannya dengan strategi perang rakyat semesta
bersama rakyat desa-desa dipantai timur Buton dengan taktik gerilya
yang kembali berpusat di puncak gunung Siontapina. Perjuangan
Lakarambau melawan kezaliman dan ketidak adilan Belanda tersebut
berlangsung selama 24 tahun (1752-1776) sampai ajal menjemputnya di
puncak gunung Siontapina. (Mane Oba La Ode; 2009). Perang
melawan Kompeni tersebut banyak menelan korban dari kedua belah pihak.
Di Buton, antara lain Sapati (pejabat tinggi Kesultanan),Bonto Ogena,
Raja Lawele dan Tondana mantan raja Rakina dan termasuk kapitalao
matanayo La Ode Sungkuabuso gugur dalam mempertahankan kedaulatan
negrinya. ( zuhdi;1999 : Ligvoet, 1878-78-9)Sultan
ke-24 La Jampi mencoba kembali menjalin hubungan Buton-Belanda yang
telah retak. demi terciptanya hubungan kedua belah pihak, Sultan
mengadakan persetujuan sepihak dengan Kompeni pada tanggal 12 maret
1766 yang hasilnya merugikan Kesultanan Buton. Inti dalam perjanjian
adalah bahawa Belanda memasukkan Kerajaan Buton ke dalam Pax
Neerlandica. kepada Kompeni, perjanjian ini adalah perluasan dari
kontrak perjanjian pertama antara Buton dengan Belanda yang
ditandatangani pada 17 Desember 1613 yang mengikat Persekutuan Abadi
antara Buton dan Belanda (Schoorl 2003:69, n.4).v. Perjanjian
ini mendapat perlawanan yang keras terutama bagi Sultan ke-25 La
Masalamu (Sultan Azim Al-Din ; 1788-1791). Sultan Azim Al-Din dengan
tegas meminta pihak Kompeni untuk meninjau kembali Perjanjian 1766 yang
isinya merugikan pihak Buton. Salah satu pasal dalam perjanjian itu
yang tidak disukai Sultan Azim Al-Din adalah ketentuan bahawa setiap
penggantian sultan Buton harus dilaporkan kepada wakil Kompeni di
Makassar (pasal 28). Pasal itu juga mengatur bahawa pihak Buton wajib
berunding terlebih dahulu dengan Kompeni mengenai setiap calon Sultan
baru mereka dan juga yang akan diturunkan dari takhtanya. Pasal ini
jelas bertentangan dengan semangat perjanjian pertama Buton-Kompeni
(Perjanjian 1613) dengan kedua-dua pihak berdiri sama tinggi dan duduk
sama rendah. Jika dalam perjanjian 1766 Buton harus melaporkan setiap
penggantian sultannya kepada Kompeni (yang mengisyaratkan pengetatan
kontrol politik oleh Kompeni kepada Buton), maka masuk akal apabila
Sultan Azim Al-Din yang ingin mempertahankan kebebasan Buton tidak
dapat menerimanya. Dengan kata lain, Sultan Azim Al-Din menilai Kompeni
sudah terlalu jauh ikut campur tangan dalam urusan politik internal
Buton. Baginda cukup kritis dan tidak mahu tunduk kepada kemahuan
Kompeni yang memang terkenal doyan kontrak. Kini, hampir 30 tahun
kemudian, Sultan Azim Al-Din yang sedang berkuasa ingin agar kontrak
perjanjian itu disemak lagi, melanjutkan protes para pendahulunya. Nada
warkah balasan Kompeni itu cukup keras, walaupun mereka akhirnya mahu
menyemak pasal 28 dalam perjanjian baru itu. Kompeni kesal dengan
Sultan Azim Al-Din yang mengatakan bahawa Baginda tidak tahu-menahu isi
perjanjian 1766. Itu tidak masuk akal, sebab sudah berkali-kali pihak
Kompeni dan pembesar Buton saling berkirim warkah membahas perjanjian
itu, baik sesudah ‘dipersumpahkan’ atau sebelumnya. Anihnya, tidak lama
selepas itu, Sultan Azim Al-Din turun takhta dan Sultan Muhyiuddin
Abdul Gafur naik takhta menggantikannya. (Suryadi 2007).
6. Perang Buton – Papua dan Seram 1796-1799!
Sebagai
Sultan baru di Buton,Sultan ke-26 La Kopuru (Muhyiuddin Abdul Gafur;
1791-1799) berusaha memperbaiki hubungan Buton-Kompeni yang tegang pada
tahun-tahun sebelum baginda naik takhta. Selain itu, ada juga dikesani
bahawa secara peribadinya Sultan Muhyiuddin lebih dekat kepada Kompeni
berbanding dengan Sultan Azim Al-Din. Langkah untuk mendekatkan diri
dengan Kompeni adalah semacam strategi politik Sultan Muhyiuddin kerana
Baginda menghadapi persoalan politik dalaman yang serius, selain
ancaman dari luar. Ancaman luar yang terus menerus dirasakan Buton
adalah perlumbaan pengembangan kuasa dari dua buah kerajaan besar
jirannya: Ternate dan Makassar. Oleh itu, Sultan Muhyiuddin tetap
bekerjasama dengan Belanda, penaung utama yang sejak dahulu lagi telah
melindungi mereka. Sultan Muhyiuddin juga tidak lupa mengingatkan
Kompeni agar jangan mengabaikan Buton, baik dalam masa damai atau dalam
keadaan terancam. Ancaman luar juga datang dari orang-orang Seram
(ditulis "Seran”) dan Papua. (Suryadi 2007)
Sultan
Muhyiuddin selalu melaporkan dengan rinci setiap peristiwa politik
yang terjadi dalam kerajaannya ataupun memberi kabar tentang
kapal-kapal Kompeni atau Inggris yang melintas di perairan Buton juga
keamanan yang menyangkut perairan di Buton. ini di lakukan untuk
menjaga hubungan diplomatic dengan Belanda di mana Belanda saat itu
merupakan bangsa yang besar dan mampu memberi perlidungan dari ancaman
oleh kerajaan atau bangsa lain. Sekitar
bulan September 1796, sultan Mahyuddin mendapat kabar dari dua orang
yang lepas dari tangkapan armada Seram dan Papua dan melaporkan bahwa
Prajurit perang dari Seram dan Papua datang ke Buton untuk menyerang dan
menghacurkan kerajaan Buton. Kemudian kabar itu di benarkan juga oleh
masyarakat Binongko dan juga utusan Buton di Makassar yang sedang
menuju Ternate namun diperjalannan dia mendapat khabar dari kerajaan
Banggai kalau Buton hendak di serang. Rupanya Kerajaan Seram dan Papua
tidak suka dengan Belanda, sehingga mereka akan menghancurkan siapa
saja kerajaan yang bersekutu dengan Belanda dan tidak mau berhubungan
dengan Inggris. Dapat disimpulkan bahwa aksi penyerangan tersebut
mendapat dukungan dari kerajaan Inggris, yang kebetulan pada akhir abad
ke-18 dengan Belanda saling berebut pengaruh di wilayah timur
Nusantara. Dengan membawa 2000 prajurit dan 300 Armada kapal didukung
persenjataan dari Inggris, pada bulan Oktober seperdua dari Armada
tersebut telah tiba dan menggempur wilayah Buton bagian barat
(Mawasangka) dan Wawolowu, utara (Kulisusu) , timur (Kaledupa). Keadaan
ini membuat Sultan Muhyiuddin meminta kepada Belanda untuk segera
menjual peralatan perang dengan harga yang terjangkau. Belum ditahu
kapan berakhirnya perang tersebut. Namun yang pasti, pada masa
pemerintahan Sultan ke-27 La Badaru (Sultan Dayanu Asraruddin;
1799-1823), kesultanan Buton Aman dari serangan luar dan hanya tercatat
sekali pemberontakan dari dalam yaitu aksi makar Muna (1816-1824). Ada
kemungkinan penyerangan berakhir pada tahun 1799 di bawah pimpinan La
Badaru, karena sudah menjadi kebiasaan di Kesultanan Buton, pemimpin
perang yang membawa kemenangan menjadi alasan buat "Sarana” (Badan
Legislative Kesultanan) untuk dipertimbangkan menjadi Sultan. Ini juga
dapat di lihat dari masa jabatannya yang lama (24 tahun), dimungkinnkan
karena prestasinya yang gemilang. Sultan
La Badaru Dayanu Asraruddin merombak beberapa aturan pemerintahan
Kesultanan antara lain dengan membuat aturan Prosedur Militer dan aturan
Sabandara (syahbandar). Peristiwa
penting yang terjadi di masa kekuasaan Sultan Asraruddin adalah
ditutupnya perjanjian dengan Kompeni di Makassar pada 12 Januari 1804
(Ligvoet 1878:87). Sultan Asraruddin tampaknya cukup kritis kepada
Kompeni dibanding sultan sebelumnya sultan Muhyiuddin Abdul Gafur.
7. Perang Buton melawan Bajak Laut tahun 1824
Pada
masa pemerintahan Sultan ke-28 La Dani (Sultan Anharuddin;1823-1824),
tercatat bahwa beberapa kapal Bajak laut yang datang dari timur singgah
di daerah Pasar Wajo dan menyerang penduduk disana. Tidak di tahu
siapa pemimpin Bajak Laut tersebut. Disamping itu Sultan La Dani harus
membereskan pemberontakan dari aksi makar Barata Wuna yang juga
merepotkan pemerintahannya. Muhammad Idrus yang juga pada saat itu
adalah menantu dari Sultan Anharuddin tampil kedepan untuk memimpin
pasukan menyerang dan menumpaskan aksi Bajak Laut. Bajak Laut tersebut
berhasil dikalahkan dan Muhammad Idrus pulang dengan membawa kemenangan,
lalu diangkat menjadi Sultan ke-29 menggantikan mertuanya yang cuma
menjabat selama satu tahun. Menurut
Zahari (1977: III, 25-7) Sultan Anharuddin diturunkan dari
kekuasaannya karena melakukan beberapa kesalahan dalam prosedur
militer, antara lain dalam penumpasan Bajak Laut yang menyerang Pasar
Wajo. Aksi penumpasan itu dipimpin oleh Muhammad Idrus, menantunya,
yang kemudian menggantikannya menjadi Sultan dengan gelar Kaimuddin I.
Zahari berspekulasi bahwa alasan pemberhentian Sultan Anharuddin
sepertinya tidak kuat, "tetapi agaknya terkandung suatu rahasia pribadi
dari Sultan Anharuddin terhadap anak mantunya [itu]”
(Ibid.:26).(suryadi;2007).
8. Pemberontakan Dalam Pemerintaha Kesultanan Buton
Sepanjang
pemerintahan Kesultanan Buton, selain mendapat tekanan dari luar, juga
mendapat tekanan dari dalam. Aksi pemberontakan dan makar serta
kerusuhan menghiasi perjalanan roda pemerintahan diantaranya kerusuhan
di Wasongko dan Lasadewa akibat kasus Sapati Kapolangku yang menimbulkan
terjadinya kesalahpahaman antara Ternate Buton tahun 1669. Disamping
itu juga tercatat beberapa aksi pemberontakan dan makar yaitu sebagai
berikut.
a. Kulisusu dan Wawoni tahun 1791 dan 1796
Sepanjang
masa pemerintahannya, Sultan ke-26 La Koporu (Muhyiuddin Abdul Gafur;
1791-1799) menghadapi banyak masalah politik, ada yang bersifat dalaman
dan luaran. Antara masalah dalaman itu adalah pemberontakan di
Kalincusu dan Wowoni yang banyak memakan korban dan menghabiskan
senjata Buton, sehingga Sultan memohon kepada "Gurnadur Jenderal” agar
dapat menjual peralatan perang agar Buton dapat mempertahankan
kedaulatannya ke atas keduadua wilayah itu. (Warkah B dan D; suryadi). Naskah teks surat (warkah) Sultan Buton kepada Gubernur Jenderal di Batavia, yang penulis kutip dari Warkah Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden oleh Suryadi
WARKAH B: CoD.Or. 2240-IA tgl 21 September 1791 ……….. Seperkara lagi, Paduka Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya
bermaklumkan Paduka Yang Dipertuan Heer Gurnadur Jenderal dan segala
Raden van India di Betawi akan hal peperangan kami dengan Negeri
Kalincusu sekarang ini. Maharaja Sapati dan Kapiten Laut telah sudah
dimenangkan Allah, dikalahkannya Negeri Kalincusu jua adanya. Syahdan,
adapun Paduka Sri Sultan dan wazir menteri2nya serta ia melihat sudah
kalah Negeri Kalincusu, lalu ia penyuruh Raja K-n-d-w-r-h dan Menteri
Katapi dan empat orang pangalasan dan seorang juru bahasa serta
teman2nya pada empat buah perahu yang pergi di Hujung Pandan pada
tahun yang lalu hendak memberi maklum kepada Paduka Ayahandah Kompeni
di Mangkasar, dipesertakan dengan lasykar seratus kapal yang dibawanya
ke Mangkasar jua adanya……..
WARKAH D : CoD. Or. 2240-IA tgl 31 Oktober 1796 ……. Seperkara lagi,
Paduka Anakanda Sri Sultan dan segala wazir menteri2nya bermaklumkan
Paduka Ayahandah kompeni Heer Gurnadur Jenderal dan segala Raden van
India di Betawi perihal sekarang ini sudah di dalam berperang dengan
Negeri Wowoni antara tiga bulan. Segala raja2 dan menteri2 serta segala
rakyat tiga ribu bilangan banyaknya yang pergi menyerang Negeri Wowoni
telah banyak mati dan luka, dan senjata sudah banyak yang rusak, dan
obat dan pelor sudah habis dalam perang kami. …. …… Dari
warkah surat tersebut dapat disimpulkan bahwa pada masa Sultan
Mahyuddin terjadi sekaligus dua pemberontakan yang cukup merepotakan
pemerintahaan Kesultanan Buton. pemberontakan pertama terjadi didaerah
Barata Kulisusu namun pada bulan September 1791 Sapati dan Kapitalao
berhasil menumpas aksi pemberontakan tersebut. Namun di tahun 1796
terjadi lagi pemberontakan yang besar di bagian daerah kadie Buton di
pulau Wawoni Barata Wuna. Sebanyak 3000 prajurit raja-raja bersama
mentrinya bergi berperang menggempur pemberontak, namun karena kurangnya
persenjataan di sana pasukan banyak tewas dan luka-luka. Namun
akhirnya aksi tersebut juga berhasil di tuntaskan.
b. Makar Daratan Wuna 1816-1824
sultan ke-27 La Badaru (Sultan Dayanu Asraruddin; 1799-1823) Pada
tahun 1816 seorang bangsawan Bone, Arung Bakung, melakukan aksi makar
di Barata Muna atas provokasi seorang ulama bernama Syarif Saleh. Arung
Bakung mengawini putri Raja Tiworo, dan oleh karena itu ia cukup
berpengaruh di Muna. Ia dan pengikutnya yang berasal Makassar dan
Mindanao melakukan aksi separatisme terhadap Bau-bau. Arung Bakung
menjadi sempalan bagi Buton selama bertahun-tahun. Dalam aksi
pemberontakannya, ia dilindungi oleh Raja Konawe dan Laiwui (Zahari
1977: III, 23). Pemberontak ini baru menyerah pada tahun 1824 dibawah
pimpinan Sultan Muhammad (Idrus Kaimuddin I; 1824-1851), dua tahun
setelah Sultan Dayyan Asraruddin turun tahta (Suryadi; 2008).
C. Penutup
Demikianlah
beberapa Intrik sosial politik yang terjadi semasa berdirinya
kerajaan Buton sampai masa Kesultanan di awal abad ke-19. Satu "Sumpah”
yang selalu dipegang dengan menghadapi segalah konsekwensinya.
Keistimewaan Kejayaan dan Keagungan Kesultanan Buton, Sosial Budaya
Buton, Kearifan Lokal, Manuskrip Kesultanan Buton, Aksara Wolio,
Bendera Wolio, Lambang Kesultanan Buton, Benteng Keraton Buton, Istana
Buton, Mata Uang Buton, Falsafah Buton, dan yang paling fenomenal
adalah Undang – Undang Dasar Kesultanan Buton ( Tartabah Tujuh ) adalah
bukti yang tidak terbantahkan bahwa sesungguhnya pernah Ada sebuah
kerajaan kesultanan yang Agung dan mewarnai perjalanan perkembangan
Nusantara. Berawal dari negeri yang miskin lalu menjadi daerah pusat
perdagangan paling aman dan disegani di awal abad ke-20. Begitulah cara
Kesultanan Buton membangun negrinya hingga bertahan lebih dari 600
tahun. Sebagai kata penutup saya mengutip kata-kata Kapitalao Jitanggalawu yang juga pernah dikutip Suryadi dalam artikelnya Karena
Sahabat (Rusman Bahar) orang yang bebal lagi daif mengatur perkataan
artikel ini, maka jikalau ada salah pun melainkan maaf juga kepada
pembaca. Tamat.
Oleh: Rusman Bahar LM Makassar 23 februari 2010
Rujukan u'jizah 2007 Duka Cita Sultan Kaimuddin, Buton,Kepada Raja Bone jawa Pos 10/2009 Nusantara, Festival Tutturangiana Andaala; Suryadi
2007, Warkah-Warkah Sultan Buton Muhyiuddin Abdul Gafur kepada Kompeni
Belanda, Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden; Mane Oba La Ode; 2009, Provinsi Buton Raya Suatu keniscayaan sejarah; <!-- Suryadi
15 maret 2008; Surat-Surat Sultan Buton, Dayyan Asraruddin dan
Kaimuddin I. Koleksi Universiteitsbibliotheek Leiden, Belanda
sumber : Ujung Angin
|