Wolio Molagina: Negeri Yang Lestari
.:"SEKILAS SEJARAH BUTON":.
Nama Buton berasal dari kata Butuni, artinya tempat persinggahan.
Letaknya strategis diujung tenggara Sulawesi, maka sejak dulu Pulau Buton merupakan jalur lintas niaga. Letak Kerajaan Buton di Sulawesi Tenggara, tepatnya di kota Baubau. Wilayahnya meliputi Pulau Buton dan pulau-pulau di sekitar Sulawesi Tenggara.
Kerajaan yang kemudian menjadi Kesultanan ini, memiliki sejarah sistim pemerintahan monarki parlementer selama tujuh abad. Dan memiliki lokasi yang cukup strategis Karena Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina
lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai
kepulauan rempah-rempah di Maluku.
Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para
pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di
sana.
Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi. Di rute itulah kerajaan Buton berada (Dr. Tony Rudyansyah, Antropolog UI)
Sebagai sebuah negeri,
keberadaan Buton
tercatat dalam Negara Kertagama karya Mpu Prapanca pada tahun 1365 M.
Dalam naskah kuno itu, negeri Buton disebut dengan nama Butuni. Digambarkan,
Butuni merupakan sebuah desa tempat tinggal para resi yag dilengkapi
taman, lingga dan saluran air. Rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru.
Dalam
sejarahnya, cikal bakal Buton sebagai negeri telah dirintis oleh empat
orang yang disebut dengan Mia Patamiana. Mereka adalah: Sipanjonga,
Simalui, Sitamanajo, Sijawangkati. Menurut sumber sejarah lisan Buton,
empat orang pendiri negeri ini berasal dari Semenanjung Melayu yang
datang ke Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat orang (Mia Patamiana)
tersebut terbbaagi dalam dua kelompok: Sipanjongan dan Sijawangkati;
Simalui dan Sitamanajo. Kelompok pertama beserta para pengikutnya
menguasai daerah Gundu-Gundu; sementara kelompok kedua dengan para
pengikutnya menguasai daerah Barangkatopa.Sipanjongan dan para
pengikutnya meninggalkan tanah asal di Semenanjung Melayu menuju kawasan
timur dengan menggunakan sebuah perahu palolang pada bulan Syaban 634
Hijriyah (1236 M). Dalam perjalanan itu, mereka singgah pertama kalinya
di pulau Malalang, terus ke Kalaotoa dan akhirnya sampai di Buton,
mendarat di daerah Kalampa. Kemudian mereka mengibarkan bendera Kerajaan
Melayu yang disebut bendera Longa-Longa. Ketika Buton berdiri, bendera
Longa-Longa ini dipakai sebagai bendera resmi di kerajaan
Buton.Sementara Simalui dan para pengikutnya diceritakan mendarat di
Teluk Bumbu, sekarang masuk dalam daerah Wakarumba. Pola hidup mereka
berpindah-pindah hingga akhirnya berjumpa dengan kelompok Sipanjonga.
Akhirnya, terjadilah percampuran melalui perkawinan. Sipanjonga menikah
dengan Sibaana, saudara Simalui dan memiliki seorang putera yang bernama
Betoambari. Setelah dewasa, Betoambari menikah dengan Wasigirina, putri
Raja Kamaru. Dari perkawinan ini, kemudian lahir seorang anak bernama
Sangariarana. Seiring perjalanan, Betoambari kemudian menjadi penguasa
daerah Peropa, dan Sangariarana menguasai daerah Baluwu. Dengan
terbentuknya desa Peropa dan Baluwu, berarti telah ada empat desa yang
memiliki ikatan kekerabatan, yaitu: Gundu-Gundu, Barangkatopa, Peropa
dan Baluwu. Keempat desa ini kemudian disebut Empat Limbo, dan para
pimpinannya disebut Bonto. Kesatuan keempat pemimpin desa (Bonto) ini
disebut Patalimbona. Mereka inilah yang berwenang memilih dan mengangkat
seorang Raja.
Selain
empat
Limbo di atas, di pulau Buton juga telah berdiri beberapa kerajaan kecil
yaitu: Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todanga dan Batauga. Seiring
perjalanan sejarah, kerajaan-kerajaan kecil dan empat Limbo di atas
kemudian bergabung dan membentuk sebuah kerajaan baru, dengan nama
kerajaan Buton. Saat itu, kerajaan-kerajaan kecil tersebut memilih
seorang wanita yang bernama Wa Kaa Kaa sebagai raja. Peristiwa ini
terjadi sekitar tahun 1332 M.
Berkaitan dengana asal-usul nama Buton, menurut tradisi lokal berasal
dari Butu, sejenis pohon beringin (barringtonia asiatica). Penduduk
setempat menerima penyebutan ini sebagai penanda dari para pelaut
nusantara yang sering singgah di pulau itu. Diperkirakan, nama ini telah
ada sebelum Majapahit datang menaklukkannya. Dalam surat-menyurat,
kerajaan ini menyebut dirinya Butuni, orang Bugis menyebutnya Butung,
dan Belanda menyebutnya Buton. Selain itu, dalam arsip Belanda, negeri
ini juga dicatat dengan nama Butong (Bouthong). Ketika Islam masuk, ada
usaha untuk mengkaitkan nama Buton ini dengan bahasa Arab. Dikatakan,
nama Buton berasal dari kata Arab bathni atau bathin, yang berarti perut
atau kandungan.
.:"Kehidupan Masyarakat Buton":.
Sebagai
kerajaan Islam yang tumbuh dari hasil transmisi ajaran Islam di
Nusantara, maka kerajaan Buton juga sangat dipengaruhi oleh model
kebudayaan Islam yang berkembang di Nusantara, terutama dari tradisi
tulis-menulis. Bahkan, dari peninggalan tertulis yang ada, naskah
peninggalan Buton jauh lebih banyak dibanding naskah Ternate, negeri
darimana Islam di Buton berasal. Peninggalan naskah Buton sangat berarti
unutk mengungkap sejarah negeri ini, dan dari segi lain, keberadaan
naskah-naskah ini menunjukkan bahwa kebudayaan Buton telah berkembang
dengan baik. Naskah-naskah tersebut mencakup bidang hukum, sejarah,
silsilah, upacara dan adat, obat-obatan, primbon, bahasa dan hikayat
yang ditulis dalam huruf Arab, Buri Wolio dan Jawi. Bahasa yang
digunakan adalah Arab, Melayu dan Wolio. Selain itu, juga terdapat
naskah yang berisi surat menyurat antara Sultan Buton dengan VOC
Belanda.
Kehidupan di bidang hukum berjalan denga baik tanpa diskriminasi.
Siapapun yang bersalah, dari rakyat jelata hingga sultan akan menerima
hukuman. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di
Buton, 12 di antaranya mendapat hukuman karena melanggar sumpah jabatan.
Satu di antaranya, yaitu Sultan ke-8, Mardan Ali (La Cila) dihukum mati
dengan cara digogoli (dililit lehernya dengan tali sampai mati).
Di bidang ekonomi, kehidupan berjalan dengan baik berkat relasi
perdagangan dengan negeri sekitarnya. Dalam negeri Buton sendiri, telah
berkembang suatu sistem perpajakan sebagai sumber pendapatan kerajaan.
Jabatan yang berwenang memungut pajak di daerah kecil adalah tunggu
weti. Dalam perkembangannya, kemudian tejadi perubahan, dan jabatan ini
ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena. Dengan perubahan ini, maka
Bonto Ogena tidak hanya berwenang dalam urusan perpajakan, tapi juga
sebagai kepala Siolimbona (lembaga legislatif saat itu). Sebagai alat
tukar dalam aktifitas ekonomi, Buton telah memiliki mata uang yang
disebut Kampua. Panjang Kampua adalah 17,5 cm, dan lebarnya 8 cm,
terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang kemudian ditenun menjadi
kain secara tradisional.
Berdasarkan beberapa penelitian, benda sejenis juga ditemukan di Hawaii, Afrika dan India. ini klo gw gak salah denger ya Etnik Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari kerajaan dan
kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio.
Secara
umum, ada empat prinsip yang dipegang teguh oleh masyarakat Buton dalam
kehidupan sehari-hari saat itu yakni:
1. Yinda
Yindamo Arata somanamo Karo (Harta rela dikorbankan demi
keselamatan diri)
2. Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu (Diri rela dikorbankan demi
keselamatan negeri)
3. Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara (Negeri rela dikorbankan
demi keselamatan pemerintah)
4. Yinda Yindamo Sara somanamo Agama (Pemerintah rela
dikorbankan demi keselamatan agama)
Buton adalah sebuah negeri yang berbentuk pulau dengan letak strategis
di jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di
kawasan timur, dengan para pedagang yang berasal dari kawasan barat
Nusantara. Karena posisinya ini, Buton sangat rawan terhadap ancaman
eksternal, baik dari bajak laut maupun kerajaan asing yang ingin
menaklukkannya. Untuk mengantisipasi ancaman tersebut, maka kemudian
dibentuk sistem pertahanan yang berlapis-lapis. Lapis pertama ditangani
oleh empat Barata, yaitu Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa. Lapis
kedua ditangani oleh empat Matana Sorumba, yaitu Wabula, Lapandewa,
Watumotobe dan Mawasangka, sementara lapis ketiga ditangani oleh empat
orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan). Untuk memperkuat sistem
pertahanan berlapis tersebut, kemudian dibangun benteng dan kubu-kubu
pertahanan. Pembangunan benteng dimulai pada tahun 1634 oleh Sultan
Buton ke-6, La Buke. Tembok keliling benteng panjangnya 2.740 meter,
melindungi area seluas 401.900 meter persegi. Tembok benteng memiliki
ketebalan 1-2 meter dan ketinggian antara 2-8 meter, dilengkapi dengan
16 bastion dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah
perbukitan berjarak sekitar 3 kilometer dari pantai.
Masyarakat Buton
Rumah Rakyat Buton
.:"Sejarah Kerajaan dan Kesultanan Buton":.Tahun 1332 berdiri kerajaan Buton. Yang menarik adalah, awal
pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa kaa Kaa.
Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. . Selama
masa pra Islam, di Buton telah berkuasa enam orang raja, dua di
antaranya perempuan antara lain Ratu Wa kaa Kaa.
Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua
raja perempuan, dilanjutkan raja Bataraguru, raja Tuarade, raja
Rajamulae, dan terakhir raja Murhum. Perubahan Buton menjadi kesultanan terjadi pada
tahun 1542 M (948 H), bersamaan dengan pelantikan Lakilaponto sebagai
Sultan Buton pertama, dengan gelar Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul
Khamis. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin
berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke 17 M. Ikatan kerajaan
dengan agama Islam sangat erat, terutama dengan unsur-unsur sufistik.
Undang-undang Kerajaan Buton disebut dengan Murtabat Tujuh, suatu terma
yang sangat populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas,
fungsi dan kedudukan perangkat kesultanan. Di masa ini juga, Buton
memiliki relasi yang baik dengan Luwu, Konawe, Muna dan Majapahit.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan tiga kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang. Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari kerajaan Majapahit. Berikut adalah skema pendiri kerajaan Buton.
Silsilah
Berikut
ini
daftar raja dan sultan yang pernah berkuasa di Buton. Gelar raja
menunjukkan periode pra Islam, sementara gelar sultan menunjukkan
periode Islam.
Raja-raja:
1. Rajaputri Wa Kaa Kaa
2. Rajaputri Bulawambona
3. Raja Bataraguru
4. Raja Tuarade
5. Rajamulae
6. Raja Murhum
Sultan-sultan:
1. Sultan Murhum (1491-1537 M)
2. Sultan La Tumparasi (1545-1552)
3. Sultan La Sangaji (1566-1570 M)
4. Sultan La Elangi (1578-1615 M)
5. Sultan La Balawo (1617-1619)
6. Sultan La Buke (1632-1645)
7. Sultan La Saparagau (1645-1646 M)
8. Sultan La Cila (1647-1654 M)
9. Sultan La Awu (1654-1664 M)
10. Sultan La Simbata (1664-1669 M)
11. Sultan La Tangkaraja (1669-1680 M)
12. Sultan La Tumpamana (1680-1689 M)
13. Sultan La Umati (1689-1697 M)
14. Sultan La Dini (1697-1702 M)
15. Sultan La Rabaenga (1702 M)
16. Sultan La Sadaha (1702-1709 M)
17. Sultan La Ibi (1709-1711 M)
18. Sultan La Tumparasi (1711-1712M)
19. Sultan Langkariri (1712-1750 M)
20. Sultan La Karambau (1750-1752 M)
21. Sultan Hamim (1752-1759 M)
22. Sultan La Seha (1759-1760 M)
23. Sultan La Karambau (1760-1763 M)
24. Sultan La Jampi (1763-1788 M)
25. Sultan La Masalalamu (1788-1791 M)
26. Sultan La Kopuru (1791-1799 M)
27. Sultan La Badaru (1799-1823 M)
28. Sultan La Dani (1823-1824 M)
29. Sultan Muh. Idrus (1824-1851 M)
30. Sultan Muh. Isa (1851-1861 M)
31. Sultan Muh. Salihi (1871-1886 M)
32. Sultan Muh. Umar (1886-1906 M)
33. Sultan Muh. Asikin (1906-1911 M)
34. Sultan Muh. Husain (1914 M)
35. Sultan Muh. Ali (1918-1921 M)
36. Sultan Muh. Saifu (1922-1924 M)
37. Sultan Muh. Hamidi (1928-1937 M)
38. Sultan Muh. Falihi (1937-1960 M).
Sepanjang era kesultanan, ada 38 sultan yang memerintah.
Tahun 1960 Kesultanan Buton dihapus oleh pemerintahan Republik Indonesia atas nama NKRI.
Saat itu Kesultanan Buton dipimpin oleh Sultan Muhamad Falihi Kaimuddin.Sultan Muhamad Falihi Kaimuddin.:"Sistem Kerajaan/Kesultanan dan Pemerintahan":.
Menurut TS, bagian ini adalah bagian yang paling unik dan menarik dari
kerajaan Buton. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik
karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di
kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Berikut ulasannya….
Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultanWalaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu. Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan diantara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga
memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan
dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang
cukup ketika berkuasa nanti. Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa
adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini
Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa
dikatakan lebih maju dari jamannya. Sistem pemerintahan
kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica
Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat
jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah
berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar
sumpah jabatan. Dan hukumannya termasuk hukuman mati
berada di tangan golongan
Bangsawan ButonMajelis rakyat kesultanan buton adalah lambang demokrasi kesultanan buton.
di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk
melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat
buton.
Pembagian kelompok di majelis ini adalah sebagai berikut:
Eksekutif= Sara Pangka
Legislatif= Sara Gau
Yudikatif= Sara Bitara
Tiga kekuasaan tersebut diatur di dalam UU yang disebut Tutura.
ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi-
Fraksi rakyat-> beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri
besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah buton.
-
Fraksi pemerintahan -> Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
-
Fraksi Agama yang diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana
hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan buton
Mengapa Kerajaan/Kesultanan Buton bisa dikatakan demokratis?
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu
mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan
menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan
kerajaan/kesultanan buton itu sendiri.
Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat buton.
Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka.
Kelompok yang berasal dari tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok
yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana
terdapat desa majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa
para penghuni desa tersebut memang berasal dari majapahit. Mereka sampai
di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di
sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan
memperdagangkan rempah-rempah ke pulau jawa. Beberapa peninggalan mereka
adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di
jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan
keturunan arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh
masyarakat buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama.
Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam
kerajaan/kesultanan buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan
lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada
perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat
tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain,
terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang.
Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyarwarah. Para perumus
sistem kekuasaan atau sistem adat di buton juga berasal dari berbagai
kelompok suku dan agama. Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si
Tamanajo yang berasal dari kerajaan pagaruyung. Ada pula yang berasal
dari jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari
Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan
menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan
tersebut dilakukan dengan kudeta.
Di kerajaan buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya,
berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan
tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah buton tersebut merumuskan
suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus
melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah
palapa-nya. Pada masa itu kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran.
Begitu juga kerajaan singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang
tidak takluk pada kerajaan majapahit akan dijadikan budak. Pilihan
mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman. Pulau buton
menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan
menetap.
Demikianlah
deskripsi ringkas mengenai Kerajaan Buton. Saat ini, di bekas wilayah
kerajaan ini, telah berdiri beberapa kabupaten dan kota yaitu: Kabupaten
Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Bombana dan Kota
Bau–Bau. Kota Bau-bau ini merupakan pusat Kerajaan Buton pada masa dulu.
Hingga saat ini, masih tersisa peninggalan kerajaan, di antaranya
bangunan istana. Sumber :
- melayuonline
- kaskus
|