LATAR BELAKANG
Burung
Maleo di Pulau Buton dibawah oleh Muhammad Ali Idrus Putera Raja Aden
yang menikah dengan Puteri Raja Pasai yang bernama Sultan Ahmad I atau
ayah kandungnya berasal dari Sultan Brunei Pertama yang bernama Sultan
Sulaiman Syarif Ali yang dinobatkan pada tahun 1298 Masehi. Muhammad
Ali Idrus ini bersepupu dengan Musarafatul Izzati Al Fakhriy Puteri
tunggal Abdullah Badiy Uz Zamani dari Yatsrib-Madinah-Arabia dari
keturunan Baginda Sayidina Ali Bin Abithalib. Menjelang dewasa ayah Al
Fakhriy atau di Buton dikenal dengan nama Wa Kaa Kaa sebagai Raja Buton
Ke-I tahun 1311-1332 Masehi. Timbul pertanyaan : mengapa Al Fakhriy dari Madinah dan Muhammad Ali Idrus dari Pasai sampai di Pulau Buton ?
Sejarahnya sebagai berikut :
Muhammad Ali Idrus yang kawin dengan Puteri Raja Pasai itu mendengar berita bahwa pamannya bernama Abdullah Badiy Uz Zamani di
Yatsrib Madinah telah meninggal dunia sehingga ia berangkat ke Madinah
untuk ziarah kubur sekalian akan membawa sepupunya Al Fakhriy.
Sesampainya di Madinah, Muhammad Ali Idrus berziarah dan mendengar
cerita bahwa sepupunya yang telah ditinggal ayahnya itu pernah dia
dilamar oleh Putera Raja Persia bernama Baidul Hasan tetapi dia tidak
mau. Lantas untuk menghindari lamaran berikutnya oleh Putera Raja Persia
itu dia setuju untuk ikut ke Pasai bersama Muhammad Ali Idrus.
Tetapi rupanya hal ini diketahui oleh Putera Raja Persia bahwa Al
Fakhriy itu akan ikut sepupunya ke Pasai, sehingga dia dilamar lagi
yang kedua kalinya, namun Al Fakhriy tetap menolak halus lamaran
tersebut dengan alas an bahwa dia belum ada niat untuk berkeluarga.
Waktu itu Muhammad Ali Idrus sedang ke Johor pergi mengawinkan anak
tunggalnya bernama Sulaiman Syarif Ali. Di Johor Muhammad Ali Idrus
bertemu dengan Panglima mongol bernama Khun Khan Ching yang ketika itu
sedang diperintah oleh Kaisar Mongol yang bernama Khubilai Khan.
(baik Kaisar Tiongkok dan Khun khan Ching disebut Cina islam dari
Hoe-Hoe daerah tar-tar dengan gelar Dung Kung Sang Hiang dan di Buton
dikenal dengan nama Dungku Cangia). Khun Khan Ching atau Dungku Cangia
lari berlindung ke Johor karena telah kalah perang waktu dia diperintah
oleh kaisarnya meyerang Kerajaan Mojopahit di Jawa Timur).
Dalam
buku sejarah Wali Songo, diceritakan pasukan Tar-Tar dari Mongol itu
menang waktu menyerang Kerajaan Singosari. Namun sekembalinya dari
peperangan pasukan tersebut melewati Sungai Berantas lantas digempur
habis-habisan oleh pasukan raden Wijaya pendiri Kerajaan Majapahit,
sehingga pasukan Tar-tar tersebut lari kocar-kacir dan banyak yang
meninggal dan Panglimanya bernama Khun Khan Ching menyelematkan diri
lari ke Johor.
Muhammad
Ali Idrus disamping bertemu dengan Khun Khan Ching di Johor, juga
bertemu dengan seorang relawan bernama Sang Ria Rana, kemudian setelah
acara pernikahan Puteranya di Johor selesai, kedua sahabatnya itu
diajaknya ke Pasai dan merekapun setuju. Sesampainya di pasai sepupunya
Muhammad Ali Idrus bernama Al Fakhriy menyampaikan bahwa ada utusan
Raja Persia untuk melamarkan anaknya dengan dia tetapi Al Fakhriy
menolaknya dengan halus dan kemudian Raja Persia itupun menjadi marah
dan mengancam akan mengambil paksa Al Fakhriy ke Pasai. Akhirnya Al
Fakhriy mengajak sepupunya Muhammad Ali idrus untuk keluar dari Pasai
dan Muhammad Ali Idrus pun berunding dengan kedua sahabatnya itu dan
sepakat akan keluar meninggalkan Pasai dengan mengendarai sebuah kapal
yang bernama Magela Hein’s. Perjalananpun tak tentu arah menuju wilayah
timur dan akhirnya terdampar di Pulau Buton tepatnya di Sorawolio.
Setelah tiba di Sorawolio, mereka berempat berpisah; Khun Khan Ching dan Sang Ria Rana menuju ke Tobe-Tobe Buton, sedang sepupunya Muhammad Ali idrus menuju ke Maligano Buton untuk membawa Burung Maleo atau dalam bahasa buton dikenal dengan nama Burung Mamua. Burung ini dibawanya dari Palembang ketika saat mengunjungi anaknya bernama Sayid Lillah yang berasal dari anak pada istri keduanya bernama Embo Endang. Ternyata sehabis melepas Burung Maleo di Maligano Buton Utara, Muhammad Ali Idrus kawin disana dengan Puteri Sangia Pure-Pure bernama Wa Birah. Dari hasil perkawinan Muhammad Ali Idrus dengan Wa Birah dikarunia seorang Puteri bernama Wa Nambo Yitonto atau nama gelar Wa Sala Bose. Pada waktu itu di Maligano Muhammad Ali idrus diberi gelar Lakina Maligano yang saat ini berdasarkan sejarah ini telah diabadikan menjadi Desa Maligano, Ronta Kabupaten Muna.
Sedangkan sepupunya bernama Al Fakhriy
yang tinggal di Sorawolio dia bertapa selama 13 tahun lamanya didalam
rumpun bambu tolang dan setelah 13 tahun ia bertapa lantas diketemukan
oleh dua sahabatnya bernama Khun Khan Ching atau Dung Kung Sang Hiang dan Sang Ria Rana,
dimana ketika itu tanpa sengaja kedua sahabatnya sedang mencari bambu
tolang untuk mau dijadikan perangkat bubu penangkap ikan di laut. Pada
saat sebelum diketemukan Al Fakhriy dalam rumpun bambu tolang
tersebut, anjing yang dibawah oleh Sang Ria Rana menggonggong karena
melihat sesuatu didalam rumpun bambu tolang tersebut namun kedua
sahabatnya tersebut tetap dia menebas bambu tersebut dan mengenai rambut
Al Fakhriy yang sedang bertapa sampai kedengaran suara Kaa Kaa karena Puteri Al Fakhriy rambutnya sedikit kena sobekan parang. Berdasarkan penemuan inilah dan teriakan inilah kedua sahabatnya memberi nama Al Fakhriy sebagai Wa Kaa Kaa dan diapun ketika itu menjadi perempuan sakti mandraguna setalah melalui pertapaan selama 13 tahun lamanya itu.
Kesaktian
perempuan bernama Wa Kaa Kaa inipun gaunya melebar kemana-mana hingga
didengar oleh 4 (empat) orang penguasa Buton juga mereka sakti yakni Si Panjonga yang berkuasa di Tobe-Tobe, Si Malui yang berkuasa di Kamaru, Si Jawangkati yang berkuasa di Wasuemba dan Si Tamanajo yang berkuasa di Gunung Lambelu yang dikenal dengan gunung Kamasope. Si Panjonga dan Si Tamanajo berasal dari Melayu-Pasai, sedangkan Si Malui dan Si Jawangkati
berasal dari Pariaman Sumatera Barat. Mereka berempat adalah orang
orang sakti mandraguna keturunan para wali allah datang ke Pulau Buton
atas petunjuk ghaib dan berombongan kira-kira tahun 1236 Masehi.
Setelah
mendengar berita bahwa di Sorawolio ada seorang pertapa perempuan yang
ghaib, kermpat penguasa itu menjemputnya dengan membawa Wa kaa Kaa
dengan sebuah tandu selanjutnya di bawah ke Istana Sipanjonga di
Tobe-Tobe dan sekarang diabadikan Tobe-Tobe itu menjadi Keraton Buton.
Dan ditempat injak kaki pertamanya Wa Kaa Kaa berbentuk lubang model
mulut kelamin perempuan dan diabadikan menjadi tempat upacara pelantikan
Raja-Raja atau Sultan-Sultan di Buton dan lubang itu sampai saat ini
masih bias dijumpai letaknya persis dibelakang Mesjid Agung Keraton
Buton dan Wa Kaa Kaa pun ketika itu dinobatkan menjadi Raja Pertama
Buton.
Dari
uraian sejarah di atas, jelas bahwa asal mula adanya Burung Maleo yang
saat ini merupalan satwa yang sangat dilindungi oleh Pemerintah dan
masuk RDB (Red Data Book) hanya terdapat di Pulau Buton, dan hingga saat
ini telah berkembang ke seluruh Sulawesi. Dalam
hasil survey yang dilakukan pada tahun 1979 untuk menentukan habitat
Burung Maleo, di Sulawesi Tenggara terdapat tiga tempat, yakni di Bubu
Buton utara dimana pantainya berpasir hitam, di pantai maligano dan di
Tanjung Kolono Konawe Selatan. Tetapi sayang telur-telurnya banyak
diambil oleh orang yang tidak bertanggungjawab dimana juga penjagaannya
kurang intensif sehingga perkembangan Burung Maleo itu kurang baik.
Satu
lagi kisah antropologis manusia dan margasatwa yang terukir sebagai
pelaku sejarah di Pulau Buton pada zamannya dan diperlukan penelitian
lebih lanjut secara aksiologis hubungan-hubungan antar atropologis
manusia dan ethmologis manusia yang mendiami pulau Buton masa lalu
hubungannya dengan silsilah bangsa-bangsa di dunia termasuk konstelasi
margasatwanya. Bagi para ahli arkiologis, antropologis kontemporer,
ethnologis dan sejarah kini anda semua ditantang untuk dapat menguak
bagian-bagian dari kisah ini guna pengembangan khasanah ilmu pengetahuan
dan sejarah Indonesia bagi anak cucu kita di kemudian hari.
Oleh : Raden Muhammad Hoesein Hambari
sumber : bumibuton
|